ZONAINDUSTRI.COM | Eskalasi konflik militer antara Iran dan Israel memicu gangguan besar pada pasar global, khususnya sektor energi, logistik, dan rantai pasok bahan baku industri. Indonesia, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan populasi keempat terbesar di dunia, sangat rentan terhadap gejolak tersebut.
“Konflik ini memberikan tekanan serius terhadap sektor manufaktur nasional, termasuk risiko kenaikan biaya produksi, logistik, dan penurunan permintaan ekspor,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (17/6).
Krisis Energi Global dan Imbas ke Industri
Timur Tengah menyumbang hampir 30% produksi minyak dunia. Gangguan produksi Iran yang mencapai 3,2 juta barel per hari, ditambah ancaman penutupan Selat Hormuz—jalur vital pasokan energi global—mendorong volatilitas harga energi. Harga minyak Brent kini berfluktuasi antara USD 73 hingga USD 92 per barel, dengan proyeksi kenaikan 15–20% pada 2025.
Agus menegaskan pentingnya efisiensi energi di sektor industri. “Energi bukan hanya sumber daya, tetapi juga bahan baku utama dalam produksi. Karena itu, industri perlu lebih efisien dan mulai mengandalkan energi domestik, termasuk energi terbarukan seperti bioenergi, panas bumi, dan limbah industri,” tegasnya.
Ia menambahkan, diversifikasi sumber energi menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor, terutama dari kawasan rawan konflik.
Ketahanan Rantai Pasok dan Logistik
Kementerian Perindustrian juga mencermati dampak serius terhadap rantai pasok global. Gangguan pengiriman melalui Selat Hormuz dan Terusan Suez telah menyebabkan pengalihan rute via Tanjung Harapan, menambah waktu tempuh 10–15 hari dan meningkatkan biaya kontainer hingga 200%.
Industri otomotif dan elektronik Indonesia, yang mengandalkan 65% komponen impor, kini menghadapi kelangkaan semikonduktor dengan waktu tunggu hingga 26 minggu. Potensi kerugian ekspor diperkirakan mencapai USD 500 juta.
Sektor tekstil dan alas kaki mengalami penyusutan margin laba 5–7% akibat kenaikan biaya logistik. Di sisi lain, sektor nikel dan baja nasional, yang penting bagi transisi energi global, menghadapi kenaikan biaya angkut batu bara hingga 20% dan potensi kerugian ekspor mencapai USD 1,2 miliar.
Strategi Hilirisasi dan Kedaulatan Industri
Menghadapi ketidakpastian global, Menperin menekankan pentingnya hilirisasi industri sebagai jawaban strategis.
“Tidak cukup hanya efisien, industri kita juga harus mandiri. Hilirisasi tidak hanya meningkatkan nilai tambah, tetapi juga memperkuat kedaulatan energi dan pangan nasional,” ujar Agus.
Ia juga mendorong industri manufaktur untuk menghasilkan produk yang mendukung ketahanan energi, seperti mesin pembangkit dan komponen energi terbarukan. Di sisi pangan, hilirisasi sektor agro diharapkan dapat menekan ketergantungan pada bahan pangan dan input impor yang kini rentan terhadap gangguan logistik dan inflasi global.
Ketahanan Nilai Tukar dan Solusi Fiskal
Gejolak nilai tukar menjadi tantangan tambahan yang menekan biaya input produksi dan daya saing ekspor. Menperin mengimbau pelaku industri memanfaatkan skema Local Currency Settlement (LCS) dari Bank Indonesia dengan negara mitra, sebagai upaya mitigasi risiko fluktuasi mata uang asing.
Pemerintah, lanjut Agus, siap memberikan berbagai bentuk dukungan seperti insentif, fasilitasi investasi, dan kebijakan fiskal untuk mempercepat transformasi industri ke arah yang lebih mandiri dan tangguh.
Peluang di Tengah Tantangan
Meski dihantui tantangan, Indonesia juga melihat peluang dari perubahan lanskap global. Misalnya, strategi friend-shoring oleh negara-negara Barat dapat membuka peluang investasi bagi Indonesia, terutama sebagai pemasok nikel dunia—yang menyumbang 40% kebutuhan global untuk baterai kendaraan listrik.
Namun, Indonesia juga harus siap menghadapi tantangan non-tarif seperti mekanisme CBAM (Carbon Border Adjustment Mechanism) dari Uni Eropa yang dapat menambah beban biaya hingga 12% bagi eksportir.
Selain itu, sektor pangan juga menghadapi risiko pasokan pupuk berbasis NPK, dengan 64% bahan baku fosfat berasal dari Mesir dan kawasan Timur Tengah.
Menutup Ketergantungan, Membuka Peluang
“Situasi ini justru menjadi momen penting bagi Indonesia untuk menutup ketergantungan pada impor dan membuka jalan menuju kemandirian industri,” pungkas Agus.
Ia menekankan bahwa ketahanan energi dan pangan bukan hanya tanggung jawab sektor primer, tetapi juga menjadi tugas utama sektor industri, khususnya manufaktur, sebagai garda terdepan perekonomian nasional.
(Kemenperin.go.id)