KOTA BEKASI | ZONAINDUSTRI.COM | Belakangan ini, publik dihadapkan pada fenomena hadirnya “Desk Ketenagakerjaan” di lingkungan kepolisian. Sekilas, keberadaan “desk” tersebut seakan memberikan ruang bagi Buruh/Pekerja, maupun Pengusaha untuk mencari solusi hukum atas persoalan hubungan industrial.
Namun, jika ditelusuri lebih dalam, timbul pertanyaan mendasar: apakah kepolisian memiliki kewenangan untuk masuk ke ranah ketenagakerjaan yang sesungguhnya sudah diatur secara komprehensif dalam undang-undang ketenagakerjaan beserta aturan2 turunnya? Apakah “Desk ketenagakerjaan” ini memiliki dasar hukum yang kuat yang bisa menopang Polri dalam menjalankan tugas tersebut secara legalitas dan “legitimate”?
Ranah Hukum Ketenagakerjaan
Sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia, telah mengatur secara tegas dan jelas mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial antara Pekerja dengan Pengusaha.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sudah mengamanatkan bahwa jalur penyelesaian dimulai dari bipartit, mediasi/konsiliasi/arbitrase, hingga ke ranah litigasi, yakni Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Artinya, kepolisian bukanlah lembaga yang memiliki kewenangan legalitas dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Kehadiran “Desk ketenagakerjaan” di tubuh kepolisian, justru berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlapping) kewenangan, bahkan dapat disalahgunakan untuk menekan salah satu pihak yang bersengketa.
Risiko Kriminalisasi
“Desk Ketenagakerjaan” di kepolisian dapat memunculkan peluang kriminalisasi terhadap Pengusaha maupun Pekerja. Sengketa ketenagakerjaan yang semestinya diselesaikan dalam ranah perdata dan administratif, akan dipaksa masuk ke ranah pidana dengan alasan2 tertentu. Hal ini jelas tidak sehat bagi iklim investasi dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia.
Alih-alih memberikan rasa keadilan, justru nantinya bisa muncul ketakutan baru di kalangan Pengusaha maupun Pekerja. Pengusaha khawatir dipidanakan dalam kasus hubungan industrial, sementara Pekerja terancam akan kehilangan ruang dialog yang seharusnya menjadi mekanisme utama penyelesaian perselisihan.
Menggugat Legitimasi
Sebagai Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resources Indonesia (ASPHRI), saya menegaskan bahwa kehadiran “Desk Ketenagakerjaan” di kepolisian perlu ditinjau ulang secara akademik, hukum, dan tata laksana administratif pemerintahan/peradilan. Negara tidak boleh membiarkan lembaga penegak hukum melangkah keluar jauh dari koridornya sebagaimana diatur dalam Tupoksi.
Kepolisian memiliki tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian, yakni menjaga keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan kepada masyarakat. Namun, memasuki ranah penyelesaian hubungan industrial, adalah salah kaprah yang bisa merusak sistem dan tatanan penyelesaian hubungan industrial yang sudah diatur jelas dalam aturan2 ketenagakerjaan.
Menutup Ruang Abuse of Power
Desk Ketenagakerjaan justru berpotensi melahirkan “abuse of power” alias penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan. Pihak-pihak tertentu bisa memanfaatkan desk ini untuk mengintervensi kasus ketenagakerjaan dengan jalur pintas, di luar mekanisme hukum yang berlaku.
Pada akhirnya, Pekerja maupun Pengusaha sama-sama dirugikan, sementara kepastian hukum menjadi kabur & bias.
Seruan ASPHRI
ASPHRI menyerukan agar Pemerintah meninjau kembali dan bahkan menghentikan operasional Desk Ketenagakerjaan di kepolisian. Semua pihak harus dikembalikan pada jalur hukum yang benar: Pekerja, Pengusaha, Mediator, dan PHI.
Kita harus menjaga agar hukum ketenagakerjaan tetap tegak di atas prinsip keadilan, bukan justru bisa dipelintir melalui instrumen yang tidak memiliki dasar kewenangan hukum yang jelas dan “legitimate”.
Bekasi, 30 Agustus 2025
Oleh: Dr. Yosminaldi, SH., MM – Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI)