KOTA BEKASI | ZONAINDUSRICOM | “Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka”._ Erich Fromm (1900 – 1980)
Hak Prerogatif secara tertulis, tak ditemukan dalam aturan2 ketatanageraan RI khususnya UUD 1945, Tap MPR, UU, PP maupun Peraturan2 turunannya. Artinya, Hak Prerogatif adalah terminologi yang berkembang secara praktik dan doktrinal.
Jika ditelusuri dari berbagai referensi, Hak Prerogatif Presiden menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh Mei Sutanto dalam jurnal _Perkembangan Pemaknaan Hak Prerogatif Presiden_ adalah hak yang diberikan kepada Presiden secara langsung oleh konstitusi (hal. 242).
Sedangkan menurut Mahkamah Konstitusi (“MK”), berdasarkan pendapat hakim dalam Putusan MK No. 22/PUU-XIII/2015, bahwa secara teoritis, hak Prerogatif adalah hak yang dimiliki oleh lembaga tertentu, yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara lain. Hak prerogatif ini biasanya dimiliki oleh Kepala Negara seperti Presiden dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi, sehingga menjadi kewenangan konstitusional (hal. 72).
Menurut KBBI, Prerogatif diartikan sebagai hak istimewa yang dipunyai oleh Kepala Negara mengenai hukum dan undang-undang di luar kekuasaan badan-badan perwakilan. Artinya, Presiden yang memiliki kekuasaan tertinggi sebagai Kepala Pemerintahan dan juga sebagai Kepala Negara, memiliki hak istimewa yang diatur jelas dalam Konstitusi Negara alias UUD 1945.
Salah satu hak Prerogatif Presiden yang “sangat istimewa dan mutlak” adalah dalam hal pengangkatan Menteri2 sebagai Pembantu Presiden. Hal ini diatur jelas dan gamblang pada Pasal 17 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menyatakan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Kewenangan ini merupakan bagian dari hak Prerogatif Presiden sebagai Kepala pemerintahan, dan diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Lantas, dengan memiliki hak Prerogatif yang sangat mutlak dan konstitusional tersebut, apa makna sesungguhnya dari hak Prerogatif yang diamanatkan oleh Konstitusi tersebut? Benarkah Presiden bisa “semau gue” memilih para Pembantunya (Menteri2) berdasarkan keinginannya secara subjektif dan sesuai dengan keinginan dan kepentingan politiknya? Perlukah Presiden dalam memilih calon Menteri mengimplementasikan sistem dan pola rekrutmen & seleksi secara profesional dengan menerapkan model “fit and proper test” seperti pemilihan dan pengangkatan Pejabat2 Negara yang lain?
SISTEM MERITOKRASI
Kita sering dikagetkan dengan keputusan sang Presiden untuk melakukan penggantian sejumlah Menteri dengan istilah “Reshuffle” Kabinet.
Dikutip dari situs _Cambridge Dictionary,_ reshuffle artinya perombakan. Istilah ini berasal dari bahasa Inggris sehingga tidak tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Istilah reshuffle sendiri sering kali digunakan untuk merujuk pada suatu peristiwa ketika posisi orang atau hal dalam kelompok atau organisasi mengalami perubahan.
Berdasarkan situs Merriam Webster, istilah reshuffle tidak hanya digunakan pada konteks kabinet atau pemerintahan saja, tetapi juga dapat digunakan saat mengacak atau menyusun kembali setumpuk kartu. Sedangkan, reshuffle kabinet artinya melakukan reorganisasi dengan mendistribusikan kembali elemen yang sudah ada sebelumnya.
Dalam _Longman Dictionary of Contemporary English,_ reshuffle artinya ketika pekerjaan orang-orang yang bekerja di suatu organisasi berubah, terutama di Pemerintahan. Kamus bisnis Longman juga menyatakan, reshuffle bertujuan untuk memindahkan orang dalam suatu organisasi besar seperti Pemerintahan dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya.
Kesimpulannya, reshuffle berarti pergantian atau melakukan penggantian orang2 dalam tim, demi perbaikan sistem dan tatanan kerja sebuah organisasi, dalam hal ini tentu saja Kabinet (Dewan Menteri) dalam sebuah Pemerintahan.
Yang selalu menjadi pertanyaan besar adalah, kenapa ada reshuffle? Apa penyebab terjadinya reshuffle? Apakah Presiden yang memiliki hak Prerogatif tersebut telah salah dalam memilih para Pembantunya? Apakah Presiden dalam memilih para Pembantu alias Menteri2nya tidak memiliki sistem rekrutmen dan Profesional berdasarkan kompetensi (the right man on the right place) atau dikarenakan masukan2 orang2 disekeliling Presiden dan kepentingan politik sesaat?
Tak pelak lagi, sistem Meritokrasi alias sistem yang bersandarkan kepada kompetensi, kualifikasi dan kapasitas seseorang untuk bisa mengemban tugas, jabatan, fungsi dan kewenangan tertentu, harus menjadi perhatian utama Presiden dalam memilih dan mengangkat seseorang sebagai Menteri. Kompetensi, Kualitas dan Profesionalisme seseorang akan berbanding lurus dengan Kinerja dan Produktivitas.
Sering kita mendengar, banyak Menteri Menteri yang asal bicara tanpa data, membuat keputusan-keputusan dan kebijakan2 tanpa perencanaan matang serta analisa dampaknya terhadap kepentingan rakyat banyak serta melakukan pencitraan2 yang bernuansa politis. Walhasil membuat kegaduhan di masyarakat dan merugikan bahkan merusak kredibilitas Pemerintah secara keseluruhan.
Ironis yang kita lihat dalam pemilihan calon hakim MA, MK, Anggota Komnas HAM, Anggota Ombudsman, dan lembaga2 Pemerintah dan lembaga2 negara yang lain, justru menerapkan model rekrutmen dan seleksi “fit and proper test” yang sangat ketat, transparan dan akuntabel. Namun, untuk jabatan Menteri yang notabena adalah jabatan utama, pembuat kebijakan publik (public decision maker) dan berdampak langsung terhadap kepentingan rakyat, hanya bersandarkan kepada keputusan Presiden secara individual. Walaupun pemilihan dan pengangkatan seorang Menteri atas dasar masukan dan kepentingan politik partai2 pendukung Presiden, pertimbangan meritokrasi harus tetap menjadi perhatian utama sebelum mengangkat seseorang menjadi Menteri.
Berdasarkan analisa diatas, disimpulkan bahwa hak Prerogatif Presiden yang mutlak dan sangat istimewa tersebut, harus selalu memperhatikan dan mempertimbangkan masukan2 publik dan memperhitungkan kepentingan Pemerintahan untuk jangka panjang. Gonta-ganti Kabinet yang terlalu sering, menunjukkan Presiden belum melaksanakan sistem rekrutmen dan seleksi yang profesional dan mempertimbangkan aspek2 meritokrasi sebagai dasar pijakan stabilitas dan kredibilitas Pemerintahan.
Saatnya Pemerintah dan DPR melakukan evaluasi ulang secara komprehensif dalam merevisi aturan pengangkatan Menteri oleh Presiden, agar tafsir atas hak prerogatif tak kebablasan menjadi hak individual yang mutlak, anti meritokrasi & anti demokrasi.
Bekasi, 20 September 2025
Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi dan Hukum)