ZONAINDUSTRI.COM – Pertumbuhan agresif BYD dan pemotongan harga besar-besaran di pasar otomotif Tiongkok telah memicu kekhawatiran di kalangan tokoh senior industri. Mereka menilai laju pertumbuhan saat ini berpotensi tidak berkelanjutan dan membahayakan struktur industri secara keseluruhan.
Ketua sekaligus pendiri Geely Holding, Li Shufu, menyatakan bahwa industri otomotif global tengah menghadapi kelebihan kapasitas. Ia menyebut pihaknya memutuskan untuk menghentikan pembangunan pabrik baru sebagai respons terhadap kondisi tersebut.
Komentar Li muncul setelah Ketua Great Wall Motor (GWM), Wei Jianjun, membandingkan kondisi pasar otomotif saat ini dengan krisis yang menimpa perusahaan properti Evergrande. Wei menyoroti dampak pemotongan harga ekstrem terhadap margin keuntungan dan kualitas produk.
“Beberapa model mobil turun dari harga 220.000 yuan menjadi 120.000 yuan. Sulit menjaga kualitas dengan penurunan sebesar itu,” katanya dikutip carsguide.com, Kamis (12/6/2025).
Geely kini memilih fokus pada kolaborasi internasional, termasuk dengan Renault, untuk memanfaatkan fasilitas produksi luar negeri di Amerika Latin. Langkah ini kontras dengan strategi pesaing seperti BYD, Chery, dan GWM yang membangun pabrik di negara-negara strategis seperti Thailand, Brasil, dan Meksiko.
Namun, regulator Tiongkok dilaporkan menunda atau menghentikan persetujuan kerja sama antara Geely dan Renault, serta proyek pabrik BYD di Meksiko. Penundaan tersebut diduga terkait kekhawatiran atas transfer teknologi, meskipun selama puluhan tahun Tiongkok mewajibkan produsen asing membentuk usaha patungan untuk masuk ke pasar domestik.
Perang harga yang terjadi di pasar domestik diduga dipicu oleh kebijakan diskon besar dari BYD, yang mendorong produsen lain seperti Geely dan Chery mengikuti langkah serupa demi mempertahankan daya saing.
Menanggapi tudingan GWM, BYD menegaskan bahwa tidak ada ancaman krisis keuangan seperti yang dialami Evergrande. Perusahaan menyebut tingkat utangnya masih dalam batas wajar, sebanding dengan perusahaan besar seperti Ford dan Toyota, karena tengah dalam tahap ekspansi global.
Asosiasi Produsen Mobil Tiongkok (CAAM) pun turut menyampaikan kekhawatiran atas fenomena ini. Dalam pernyataan resminya, CAAM menyebut perang harga berisiko merugikan seluruh industri.
“Tidak ada pemenang dalam perang harga. Kecuali penurunan harga dilakukan sesuai hukum, perusahaan seharusnya tidak menjual produk di bawah biaya produksi,” ujar CAAM, dikutip dari Reuters.
Di sisi lain, kondisi ini membawa peluang bagi pasar ekspor, termasuk Australia. Dengan marjin keuntungan yang lebih tinggi dan kelebihan pasokan di dalam negeri, produsen Tiongkok mulai melirik pasar luar seperti Australia untuk mendorong pertumbuhan volume penjualan.
BYD baru-baru ini mengumumkan akan mengambil alih langsung operasi bisnisnya di Australia, mengakhiri kemitraan dengan importir lokal EVDirect. Langkah ini memberi BYD kendali lebih besar atas strategi produknya, termasuk dalam hal peluncuran model baru.
Peluncuran Shark 6 ute menjadi salah satu upaya BYD memperkuat posisinya di Australia. Saat ini, BYD tengah bersaing ketat dengan GWM untuk menjadi salah satu dari sepuluh merek mobil terpopuler di pasar otomotif Australia.
Penyunting: Sacim Zein